Indonesia tentu tidak ingin disebut bangsa yang bebal atau bangsa yang tidak bisa memetik hikmah dari masa lalu. Namun, Indonesia membuat kesalahan seperti di masa lalu, bahkan membuat justifikasi konyol untuk membenarkan langkah yang akan diambil, seperti izin ekspor pasir laut.
Selama dua dekade ekspor pasir laut dilarang, setelah disetop pemerintahan Megawati Soekarnoputri pada 2003 dengan alasan merusak lingkungan, menenggelamkan pulau-pulau kecil dan belum diselesaikannya batas wilayah laut antara Indonesia dan Singapura. Namun, pemerintahan Joko Widodo kembali membuka keran ekspor pasir laut tersebut.
Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. PP itu memantik polemik berkepanjangan, karena memanfaatkan hasil sedimentasi laut berupa pasir laut untuk diekspor ke luar negeri.
Hal itu tertuang dalam Pasal 9 ayat (2) huruf D yang menyebutkan ekspor dilakukan sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan meyakini kebijakan ekspor pasir laut tidak akan merusak lingkungan, bahkan menyehatkan ekosistem laut.
Seharusnya argumentasi sekelas pembantu presiden berdasarkan kajian yang matang, kajian ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademis. Pengelolaan negara seharusnya berbasiskan good governance, yakni akuntabilitas, transparansi dan partisipasi.
Bila pemerintah menegasikan prinsip good governance dalam ekspor pasir laut, patut diduga kebijakan tersebut hanya untuk menguntungkan segelintir kelompok. Kebijakan aneh-aneh menjelang Pemilu 2024, baik yang bernuansa ekonomi maupun politis, diperkirakan bakal bermunculan di negeri ini.
Kepentingan ekonomi dan politis berkelindan untuk menyokong kesuksesan berkontestasi dalam pesta demokrasi. Celakanya lagi, apabila kebijakan ekspor pasir laut ialah tukar guling dengan pemerintahan Singapura dan Tiongkok.