Punya cita-cita jadi poros maritim dunia, rupanya tak lantas membuat pemerintah konsisten menjaga kedaulatan lautnya. Buktinya, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk membuka kembali keran ekspor pasir laut.
Kebijakan yang dilarang sejak dua dekade lalu itu dinilai akan memperparah dampak krisis iklim, sekaligus mengancam kedaulatan negara.
Dalam pidato pertamanya sebagai Presiden, Jokowi menyebut akan bekerja sekeras-kerasnya untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Kini, Jokowi pula yang memunggungi laut dengan membuka keran ekspor pasir laut melalui terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 Tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Padahal, pasir laut masih dibutuhkan untuk reklamasi dalam negeri dan pembangunan lainnya. Eksploitasi laut sendiri terbukti pernah merusak dasar laut indonesia.
Misalnya, pengerukan pasir besar-besaran berakibat pada tenggelamnya tujuh pulau di Kepulauan Seribu. Bahkan, Walhi menyebut PP No 26 Tahun 2023 adalah jalan mulus untuk melegalkan penambangan pasir laut di mana-mana.
Kekhawatiran juga menyeruak dari mantan rekan kerja Presiden Jokowi yakni Menteri Perikanan dan Kelautan dan Perikanan Kabinet Kerja periode 2014 - 2019, Susi Pudjiastuti yang juga menentang keputusan ekspor pasir laut.
Pemerintah berdalih dibukanya keran ekspor pasir laut, salah satunya untuk mengatasi sedimentasi yang akan menyebabkan pendangkalan dan kecelakaan di jalur laut.
Sementara soal potensi kerusakan lingkungan, Menteri ESDM Arifin Tasrif hanya menyatakan akan melakukan pengawasan.
Dalam sejarahnya, keuntungan ekonomi akibat pengerukan pasir laut tidak setimpal dengan kerusakan lingkungan dan ekologi yang terjadi. Meski dikelola dengan teknologi canggih sekalipun.
Oleh karenanya, izin ekspor pasir laut dihentikan pada masa Presiden Megawati sejak tahun 2003 alias dua puluh tahun lalu. Apakah suara keras penolakan ekspor pasir laut menjadi pertimbangan pemerintah saat ini? Kita tunggu.